Jumat, 29 Januari 2010

Bekal Menuju Pernikahan

[Melihat Wanita yang Dilamar]
---------------------------
Barangsiapa ingin meminang seorang perempuan, maka dianjurkan melihatnya
terlebih sebelum memutuskan untuk melamar. Landasan dalilnya adalah hadits
Muhammad bin Maslamah, ia berkata, "Aku meminang seorang perempuan. Aku
lantas mengendap endap untuk mengintipnya. Saat itu, kulihat ia sedang
berada di dekat pohon kurma miliknya.

Lalu ada yang berkata padaku, 'Apakah pantas engkau melakukan ini, padahal
engkau adalah Shahabat Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam?' Aku pun
menjawab, "Aku mendengar Rasululllah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
(yang artinya),

'Jika Allah telah menumbuhkan keinginan meminang wanita pada hati seorang
pria, maka tidak mengapa melihatnya.'" (Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah
(no. 1510)].

Dari al Mughirah bin Syu'bah, ia berkata,
"Aku menemui Nabi shallallahu'alaihi wa sallam lalu kuceritakan pada beliau
tentang wanita yang akan kupinang. Beliau pun bersabda (yang artinya),

'Pergi dan lihatlah dia. Karena yang seperti itu lebih mengekalkan hubungan
kalian.'" (Shahih: [Shahiih Sunan at Tirmidzi (no. 868)].



[Saatnya Meminang]
-------------------
Meminang (khitbah) artinya meminta kesediaan wanita untuk dinikahi dengan
cara yang telah dikenal masyarakat. Jika setuju, maka itu sekedar janji
untuk nikah. Karena itu, wanita tadi sama sekali belum halal bagi si
pelamar. Status wanita tadi sama dengan wanita lain yang bukan mahramnya
hingga dilaksanakan akad nikah.

Tidak halal bagi seorang muslim meminang wanita yang sudah dilamar saudara
muslimnya yang lain. Hal ini berdasarkan ucapan Ibnu 'Umar yang berbunyi,

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang kalian membeli barang yang
sedang dibeli saudara kalian. Beliau juga melarang seorang laki laki
meminang wanita yang dilamar saudaranya. Kecuali si pelamar meninggalkannya
atau si pelamar mengizinkan laki laki tadi." (Shahih: [Shahiih Sunan an
Nasa-i (no. 3037)].



[Wajibnya Meminta Izin Si Wanita]
-----------------------------------
Jika pernikahan tidak sah tanpa adanya wali, maka sebelum menikahkan, WAJIB
bagi wali meminta izin wanita yang menjadi tanggungannya. Jika si wanita
tidak rela, wali tidak boleh memaksanya menikah. Jika akad nikah tetap
dilaksanakan, maka wanita tadi berhak mengajukan pembatalan akad.

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda (yang
artinya),

Wanita janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai pendapat. Dan
seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah dimintai izin." Para
shahabat bertanya, "Bagaimana tanda persetujuannya?" Beliau pun menjawab,
"Apabila ia diam saja." (Muttafaq 'alaih: [Shahiih al Bukhari (Fat-hul Baari
(IX/191, no. 5136)].

Dari Khansa' binti Khaddam al Anshariyyah, ia mengatakan bahwa ayahnya
menikahkan dirinya yang telah menjanda, padahal ia tidak menyetujuinya. Ia
pun lantas menemui Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dan beliau pun
tidak mengakui (tidak sah-pent) pernikahannya. (Shahih: [Irwaa ul Ghaliil
(no. 1830)], Shahiih al Bukhari (Fathul Baari (IX/194, no. 5138).

Dari 'Abdullah bin 'Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Ada seorang
gadis menemui Nabi shallallahu'alaihi wa sallam. Dia mengadukan ayahnya yang
menikahkan dirinya, padahal dia tidak menyukainya. Kemudian Nabi
shallallahu'alaihi wa sallam memberikan hak untuk memilih kepada wanita
tersebut. (Shahih: [Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1520)].



[PERSONAL VIEW]
---------------
Jalan untuk menikah memerlukan bekal. Yaitu bekal ilmu agar kita tidak salah
pilih dan tidak salah dalam melangkah. Buku ini memberikan gambaran awal
mengenai bekal bekal yang harus dipersiapkan menuju pernikahan agar bisa
terbentuk keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Yang pada gilirannya bisa
menghasilkan generasi yang shalih dan shalihah. Generasi yang baik hanya
bisa dihasilkan oleh keluarga yang juga baik.

Semoga dari keluarga keluarga yang baik bisa membentuk ummat yang baik.
Ummat yang mempunyai izzah (kemuliaan) dihadapan ummat yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar